Postingan

Bang, minta data dihapus saja

Di pagi yang tidak begitu cerah. Matahari terlihat bersinar dengan tiada gairah. Cahayanya terlihat dihalang-halangi oleh kabut mendung.  Mobil L300 cukup kencang yang diikuti dumtruk di belakangnya juga tidak kalah kencangnya. Truk fuso yang mengangkut pasir timbun di Keumala terlihat dari bak belakangnya keluar air dari celah lobang pengunci. Datanglah seorang lelaki yang hendak memfotokopi surat keterangan kelahiran. Sebelum ia menyarankan agar di surat itu ditambah kalimat lain sedikit seperti berat badan dan panjang badan bayi. Ini adalah suruhan seorang bidan tempat ia mengambil surat keterangan itu. Lebih tepatnya itu adalah form keterangan kelahiran yang di sudut bawah kanan ditandatangani oleh bidan tempat melahirkan. Dokumen itu sangat diperlukan untuk mengurus Akte Kelahiran seorang anak dan sekalian kartu keluarga yang baru. Setelah saya ketik form itu lalu saya print dan ia suruh fotocopy enam lembar. Selanjutnya kata lelaki itu,  "Bang, nyoe amanah gobnyan, data nyoe

TUGU PELURU

Masih tegak tanpa retak Dengan tubuh tegar tanpa memihak Kau rela dibinakan di Keumala Masjid raya Keumala belum didirikan Kamp tentara awal berada di tanah itu Tentara Sriwijaya nama pasukannya Mereka dikirim untuk menumpas Gerakan Abu Dawod Beureu-eh Hanya tiga tahun Mereka berdiam di Keumala Sebagai tentara tambahan Apabila dibutuhkan Siap terjun dan berperang  Melawan DI/TII Aceh  Kau masih tegak hingga kini Walau matahari selalu terik Menyilaukan pandangan Kau masih setia untuk Keumala Mengukir jejak masa lalu Untuk diabadikan regenerasi.

PENODONGAN TIDAK JADI

Kali ini, aku mencoba mengantar penumpang dengan tujuan Tangse. Sebuah kecamatan dalam Kabupaten Pidie. Sangat jarang aku mengantar penumpang ke daerah jauh seperti ini. Biasanya aku hanya mengantar kampung ke kampung. Malam itu aku memberanikan diri. Penumpangku malam ini, ia pulang dari Medan turunnya di terminal bus Beureunuen. Ia langsung memesan jasa becak. Kebetulan yang ia boking adalah becak yang aku kendarai.  "Bang, meunye u Tangse padum ongkoih," ia bertanya. "85 ribu". Jawabku sambil merapikan jok becak. "Hana kureung le bang," ia melanjutkan tanya. "80 kajeut ka paih nyan". Ujarku dengan pasrah.  Setelah bercakap-cakap, aku memutuskan dengan ongkos 80 ribu dengan jarak tempuh Beurnuen Tangse.  Aku berangkat dari terminal bus Beurnuen pukul 10 malam itu dengan kecepatan 70 rata-rata. Dalam perjalanan tiada rintangan dan mesin motorku cukup sehat mengamati jalan pegunungan yang banyak tikungan dan jalan pun sedikit sempit.  Sampai di B

Aku dan On Rumpuen

Pagi itu, aku seperti biasa. Menemani dan mengawali pagi dengan sayuran. Sayuran kangkung aku petik di pinggir kali di belakang rumah Kak Laila. Mentari pagi dengan garang sedikit demi sedikit menampakkan dirinya. Seolah ia tersipu hendak menatapku dengan leluasa.  Aku memetik kangkung dengan cekatan. Waktu itu ada sekali aku pernah digigit lintah di pinggir kali itu. Dengan cepat tangan mengambilnya dan kuletakkan di tanah sebelum aku mematikannya atas sebuah batu.  Aku berusaha dan memilah kangkung. Yang aku petik yang kelihatan batangnya besar dan daunnya lebat. Kubiarkan yang kecil-kecil. Biarlah mereka besar dulu. Agar setiap aku datang, aku bisa memanen setiap hari.  Sedang asyik kupetik kangkung, tiba-tiba hanyut sebuah botol plastik dan masih bagus rupanya. Aku mengambilnya dan naik ke atas. Aku melihat pada tubuh botol itu tiada nampak merek apapun. Aku sempat menerka dalam hati. Biasanya kalau bentuk botol seperti ini pasti botol obat-obatan.